Senin, 28 Desember 2015

Ragam suku di NTT

kali ini saya akan membahas tentang kebudayaan daerah Nusa Tenggara Timur. Di NTT, terdapat banyak sekali suku dan budaya yang berbeda-beda. Bahkan setiap suku atau daerah memiliki ciri khas yang berbeda-beda. M,ulai dari, bahasa, adat istiadat, makanan dan masih banyak lagi perbedaan itu.
Nah kali ini saya akan membahas tentang beragam suku yang ada di Nusa Tenggara Timur.

1. Suku Alor
Suku bangsa Alor mendiami daratan pulau Alor, Pantar dan pulau-pulau kecil di antaranya. Daerah mereka sekarang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Alor mungkin diberikan oleh orang luar untuk menyebut seluruh kelompok masyarakat yang berdiam di daerah tersebut. Mereka sendiri terdiri atas sejumlah sub-suku bangsa, antara lain Abui, Alor, Belagar, Deing, Kabola, Kawel, Kelong, Kemang, Kramang, Kui, Lemma, Maneta, Mauta, Seboda, Wersin, dan Wuwuli. Pada masa lampau sub-sub suku bangsa tersebut masing-masing hidup terasing di daerah perbukitan dan pegunungan, terutama untuk menghindari peperangan dan tekanan dari dunia luar. Disanalah mereka mendirikan rumah-rumah bertiang kayu bulat, tinggi dan  dengan atap dari alang-alang atau ijuk berbentuk bulat, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, daun lontar atau papan. Karena kurangnya komunikasi di antara mereka, maka berkembanglah berbagai dialek yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain.

 Mata Pencaharian Suku Alor

Mata pencaharian orang Alor pada dasarnya adalah perladangan berpindah dengan teknik tebang dan bakar. Tanaman pokoknya adalah jagung, diikuti oleh tanaman padi, ubi kayu, sorgum, dan kacang-kacangan. Selain itu mereka masih melakukan pekerjaan tambahan tradisional lain, seperti berburu, menangkap ikan, meramu hasil hutan, dan membuat barang-barang anyaman untuk dibarter. Sama seperti berbagai kegiatan hidup penting lainnya, kegiatan mata pencaharian ini juga mereka atur sesuai dengan hukum adat.

Perkawinan Dalam Suku Alor

Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala. Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib membayar sejumlah belis (maskawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut dapat terdiri atas sejumlah uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan moko (sejenis genderang untuk mengiringi upacara).

Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.

Agama Dan Kepercayaan Suku Alor

Pada masa sekarang orang Alor sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Kristen. Agama Islam masuk ke Pantar dan Kalabahi pada zaman pemerintahan Sultan Baabullah dari Ternate. Religi asli orang Alor masih dianut oleh sebagian sub-suku bangsa. Mereka percaya kepada tokoh Maha Kuasa yang disebut Lahatala. Tokoh ini hanya mungkin dihubungi lewat perantaraan dewa-dewa, seperti Mou Maha-maha (dewa bumi), Fred (dewa matahari), Ul (dewa bulan). Konsep dewa tertinggi tersebut mungkin berkembang akibat pengaruh agama-agama monoteis yang datang kemudian.

2. Suku Atoni
Suku bangsa Atoni berdiam di pedalaman Pulau Timor bagian barat yang sebagian besar berupa tanah kering dan berbukit-bukit gundul, seperti di kefettoran Amarasi, Fatu Leu, Amfoan, Mollo, Amanuban, Amanatun, Miomafo, Insana dan Biboki. Jumlah populasinya sekitar 300.000 jiwa. Orang Atoni mempunyai bermacam-macam sebutan. Orang Tetun menyebut mereka orang Dawan, Orang Bunak menyebut mereka Rawan, penduduk di kota Kupang menyebut mereka Orang Gunung.

 Mata Pencaharian Suku Atoni

Sebagian besar masyarakat Atoni hidup dari peladangan dan pemeliharaan ternak secara tradisional. Pengaruh pendidikan formal di sekolah-sekolah relatif baru bagi kebanyakan orang Atoni, sehingga sedikit sekali di antara mereka yang bekerja di kalangan kepegawaian, perguruan, kependetaan, kepolisian atau ketentaraan.

Kepadatan penduduk di desa-desa menyebabkan banyak pula di antara mereka yang pergi ke kota Kupang dan bekerja sebagai tenaga kasar di sana. Setiap kali hendak berladang orang Atoni harus membuka sebidang tanah di hutan, memagarinya, mengerjakannya untuk beberapa tahun panen, lalu ditinggalkan untuk mencari lahan baru. Keadaan tanah yang kering sering dibantu menyuburkannya dengan menanam pohon lamtoro.

Dalam mengerjakan ladang ini orang Atoni lebih suka bekerja sendiri-sendiri dari pada kolektif dengan orang lain. Tanaman pokok mereka adalah jagung dan padi yang ditanam bergiliran di tanah yang sering kekurangan air hujan. Selain itu mereka juga suka menanam bawang, kedelai, pisang, tomat, cabe dan sebagainya. Tanaman keras yang banyak mereka pelihara adalah pinang, lontar, kelapa dan beberapa jenis pohon buah-buahan. Sedangkan binatang ternak gembalaan mereka adalah kambing, babi, sapi, kuda, kerbau dan domba.

Kesenian Dan Kerajinan Dalam Suku Atoni

Di luar waktu berladang dan mengembalakan ternak, wanita suku Atoni mengerjakan pertenenunan dan anyaman. Sedangkan kaum lelakinya lebih suka membuat barang-barang dari kayu yang diukir secara sederhana. Nampaknya seni mematung tidak berkembang disini. Kegiatan menenun itu berkembang terutama dalam membuat pakaian (tais) sehari-hari maupun untuk pesta adat. Barang anyaman seperti tikar dan bakul-bakul mereka buat dari daun lontar atau sejenis pandan. Kaum wanita maupun lelakinya senang memakai perhiasan yang terbuat dari logam, perak, emas, serta manik-manik dan permata akik.

Hubungan Kekeluargaan Dan Kekerabatan Dalam Suku Atoni

Secara ideal rumah tangga orang Atoni terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Rumah tangga yang tidak mempunyai anak biasanya mengambil anak saudara mereka untuk diangkat sebagai anak sendiri. Sungguh pun bentuk kekerabatan mereka cenderung untuk patrilineal, akan tetapi pasangan muda orang suku Atoni yang baru saja kawin akan tinggal di lingkungan kerabat isteri (uksorilokal) selama beberapa tahun, kemudian baru pindah menetap di lingkungan pihak keluarga asal suami. Pihak pemberi wanita atau disebut an atoni dan pihak lelaki disebut an bifel.

Bentuk perkawinan yang baik menurut masyarakat ini adalah perkawinan antara dua klen yang memang sudah sering terikat hubungan perkawinan. Makin jauh hubungan perkawinan antar klen makin besar mas kawin yang harus dikeluarkan untuk memperbarui ikatan tersebut. Tiap-tiap orang Atoni adalah anggota dari sebuah klen patrilineal yang jumlahnya amat banyak. Klen-klen itu biasanya disebut menurut nama benda suci (nono) yang menjadi barang pusaka mereka.

Seorang isteri diakui menjadi warga klen suaminya. Akan tetapi kedudukan dalam klen bisa diperoleh lewat adopsi dan bisa pula dengan mengambil klen ibunya sebagai ikutannya. Klen ayah mereka sebut nono mnuki (nono muda) dan klen ibu disebut nono mnasi (nono tua). Penduduk sebuah desa biasa digolong-golongkan ke dalam tiga kelompok klen. Pertama kautuaf, yaitu klen-klen yang dianggap sebagai pemilik desa atau yang menguasai tanah dan pertama sekali membuka desa tersebut. Kedua atoin asaot, yaitu penduduk yang datang kemudian baik karena kawin maupun datang dan menetap sendiri. Yang ketiga adalah atoin anaut, yaitu orang-orang yang datang minta perlindungan hidup di suatu desa, entah karena sebagai pengembara atau pelarian dari desa lain.

Agama Dan Kepercayaan Dalam Suku Atoni

Agama asli orang suku Atoni berdasarkan kepada kepercayaan kepada satu dewa langit yang mereka sebut Uis Neno. Selain itu mereka juga percaya adanya dewi tanah yang disebut Uis Afu, yaitu isteri dewa langit itu sendiri. Mereka juga percaya adanya makhluk-makhluk halus (in tuan) yang mendiami tempat-tempat tertentu, dalam tubuh binatang dan tumbuh-tumbuhan tertentu. Kemudian mereka yakin adanya roh-roh nenek moyang yang disebut nitu.

Upacara-upacara keagamaan ditujukan kepada pemujaan Uis Neno, Uis Afu dan nitu. Jika terjadi gangguan dari in tuan maka mereka minta seorang syaman yang disebut mnane atau meo untuk mengusir makhluk halus yang jahat itu. Salah satu ritual dalam kepercayaan lama ini adalah mematuhi pemali atau pantangan tertentu yang disebut nuni. Pantangan-pantangan yang dijauhi oleh seseorang tergantung kepada pesan yang diterimanya lewat mimpi, karena petunjuk meo atau karena sudah menjadi pantangan turun-temurun dari klennya.

3. suku bajawa
Bajawa berarti India belakang. Nenek moyang penduduk Bajawa berasal dari India belakang yang masuk ke pulau Jawa, kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui samudera menuju ke Flores dengan mengendarai sampan yang mereka anggap mirip seperti piring. Oleh sebab itu nama kota tempat tinggalnya di Flores disebut dengan Bhajawa, yang berarti piring dari Jawa. Pendaratan pertama mereka di Flores yaitu di daerah Aimere, kemudian mereka melanjutkan perjalanan darat hingga sampai ke Bajawa. Para pendatang tersebut membawa budaya dari Hindia belakang yang kemudian mereka padukan dengan budaya asli, yaitu Ngadhu dan Bhaga.

4. Suku Ende
Suku Ende merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Suku Ende di kabupaten Ende hidup bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.

5. Suku Kemang
Suku Kemang merupakan salah satu suku kecil dari sekian banyak suku-suku di kabupaten Alor. Suku Kemang memiliki populasi yang kecil, namun mereka memiliki adat-istiadat, budaya dan bahasa sendiri, yaitu bahasa Kemang. Masyarakat suku Kemang dalam bertahan hidup pada bidang pertanian. Mereka memiliki ladang atau kebun yang ditanami beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, pisang dan kelapa.

6. Suku Lamaholot
Suku Lamaholot adalah salah satu komunitas masyarakat yang terdapat di kabupaten Flores Timur, Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan Lembata, yang semuanya berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lamaholot berbicara dalam bahasa Lamaholot. Bahasa Lamaholot memiliki banyak varian bahasa, yang disebut sebagai bahasa Lamaholot dengan dialek-dialeknya.Menurut penuturan masyarakat Lamaholot, bahwa pada awalnya bahasa mereka hanya satu bahasa, yaitu bahasa Lamaholot, dengan terjadinya percampuran penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

7. Suku Manggarai
Suku bangsa Manggarai mendiami Kabupaten Manggarai yang terletak di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jumlah populasinya sekitar 350.000 jiwa. Bahasa Manggarai nampaknya terdiri atas beberapa dialek, seperti dialek Pae, Mabai, Rejong, Mbaen, Pota, Manggarai Tengah, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat. Empat dialek terdepan mungkin merupakan bahasa dari kelompok suku bangsa tersendiri yang tunduk kepada orang Manggarai di zaman dulu.

Pada zaman dulu di Manggarai terdapat sebuah kerajaan. Pada masa sekarang sisa-sisanya masih kelihatan berupa pembagian wilayah tradisional ke dalam wilayah adat yang disebut dalu. Pada zaman dulu jumlah dalu ini sampai 39 buah. Tiap-tiap dalu dikuasai oleh satu klen atau wau tertentu. Dalam setiap dalu terdapat beberapa buah glarang dan di bawahnya lagi terdapat kampung-kampung yang disebut beo. Orang-orang dari wau yang dominan dan menguasai dalu menganggap diri mereka sebagai golongan bangsawan. Antara satu dalu dengan dalu lainnya sering mengadakan aliansi perkawinan dalam sistem yang mereka sebut perkawinan tungku (semacam perkawinan sepupu silang). Antara dalu dengan glarang sering pula terjadi perkawinan, karena sebuah glarang umumnya juga dikuasai oleh sebuah wau dominan.

Dalu sebagai bawahan kerajaan dipimpin oleh seorang kraeng, yang biasanya dipanggil Kraeng Adak. Kraeng yang dianggap berjasa berhak memperoleh gelar Sangaji dari raja. Sementara itu adanya wau yang dominan itu maka dalam masyarakat Manggarai terdapat pelapisan sosial yang cukup jelas. Pertama adalah golongan yang menganggap dirinya bangsawan, yang biasanya memakai gelar kraeng. Kedua adalah golongan rakyat biasa yang disebut ata lahe. Golongan ketiga adalah hamba sahaya atau mendi. Tentu saja pada zaman sekarang pelapisan sosial ini sudah semakin kabur.

 Mata Pencaharian Suku Manggarai

Mata pencaharian sebagian besar suku Manggarai adalah bercocok tanam di ladang dan di sawah. Pada umumnya mereka menanam padi, jagung, ubi kayu dan sayur. Hewan ternak yang paling utama di daerah masyarakat ini adalah kuda.

Kekeluargaan Suku Manggarai

Keluarga inti mereka sebut cak kilo. Keluarga-keluarga inti ini bergabung dalam keluarga batih patrilineal (keluarga luas terbatas) yang disebut kilo. Beberapa kilo yang berasal dari satu kakek moyang yang sama tergabung menjadi klan yang disebut panga. Pada masa sekarang nampaknya panga-panga itu lebih banyak berfungsi sebagai sumber nama kekerabatan. Pada masa dulu panga-panga itu masih merupakan bagian dari klan yang lebih besar (wau).

Agama Dan Kepercayaan Suku Manggarai

Pada masa sekarang orang Manggarai sudah memeluk agama-agama besar. Wilayah Kedaluan bagian timur kebanyakan memeluk agama Katolik, Kedaluan sebelah utara, barat, dan selatan umumnya beragama Islam, dan sebagian kecil beragama Protestan. Sementara itun sisa-sisa kepercayaan lama masih terlihat di beberapa tempat. Pada zaman dulu masyarakat ini memuja roh nenek moyang (empo atau andung) dan amat hati-hati terhadap gangguan makhluk halus yang disebut golo, ata pelesina, naga, dan lain-lain. Mereka juga memiliki dewa tertinggi yang disebut Mori Karaeng.

8. Suku Ngada
Orang Ngada sebenarnya terdiri atas beberapa sub-suku bangsa yaitu Ngada, Maung, Riung, Rongga, Nage Keo, Bajawa dan Palue. Sub-sub suku bangsa itu umumnya ditandai oleh perbedaan dialek-dialek yang mereka pakai. Sungguhpun begitu ciri-ciri kebudayaan mereka memperlihatkan kesamaan. Masyarakat Suku Ngada berdiam di Pulau Flores, tepatnya di wilayah Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasinya diperkirakan sekitar 155.000 jiwa. Mata pencaharian hidup mereka umumnya adalah berladang, sebagian di sawah, ada pula yang beternak sapi, kerbau, dan kuda.

 Rumah Suku Ngada

Rumah orang Ngada disebut nua. Rumah-rumah itu berdiri dalam pola bulat telur atau persegi panjang dengan posisi mengelilingi sebuah lapangan yang digunakan untuk berkumpul dan mengadakan upacara. Di tengah-tengah lapangan itu terdapat sebuah panggung batu untuk melengkapi upacara yang mereka sebut terse, di atasnya terdapat altar yang disebut watu lewa. Pada zaman dulu di bagian depan perkampungan itu ada sebuah tiang pemujaan dari batu yang disebut ngadhu dan sebuah rumah pemujaan roh yang berukuran kecil di dekatnya.

Kekeluargaan Suku Ngada

Keluarga intinya disebut se sao. Beberapa se sao membentuk keluarga luas patrilineal yang disebut sipopali. Beberapa sipopali yang merasa masih satu kakek moyang dengan sipopali lain bergabung menjadi klen kecil yang disebut ilibhou. Beberapa ilibhou terikat ke dalam satu kesatuan teritorial genealogis yang disebut woe. Masing-masing woe mempunyai lambang "totem" yang mereka junjung tinggi.

Masyarakat Suku Ngada

Pelapisan sosial biasanya muncul dari kelompok-kelompok woe yang dominan dan menganggap diri sebagai golongan bangsawan. Lapisan sosial ini disebut gae meze. Di bawahnya adalah golongan rakyat biasa yang disebut gae Kisa. Paling bawah adalah golongan hamba sahaya atau bekas budak yang disebut azi ana atau ho'o.

Agama Dan Kepercayaan Suku Ngada

Pada masa sekarang orang Ngada ada yang sudah memeluk agama Katolik dan sedikit Islam. Kepercayaan asli mereka yang bersifat animisme dan dinamisme sebenarnya masih dianut oleh sebagian anggota masyarakatnya.

9. Suku Rote
Suku Rote atau Orang Rote berdiam di Pulau Roti, Ndao dan sebagian pantai barat Pulau Timor, di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Daerah mereka termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. ada anggapan para ahli bahwa penduduk di pulau-pulau itu sebenarnya berasal dari Pulau Seram di Maluku Tengah. Jumlah populasinya sekitar 88.000 jiwa.

 Bahasa Suku Rote
Bahasa Roti termasuk rumpun bahasa Austronesia dan terbagi ke dalam beberapa dialek, seperti Unale, Ti, Termanu, Ringgou, Dengka, Ba'a, Bilba, Kolbaffo, Dela, Lole, Keka, Diu, Lelenuk, Talae, Landu. Ahli lain menggolongkan bahasa mereka menjadi dialek Rote Barat Daya, Rote Barat Laut, Lobalain, Rote Tengah, Rote Timur dan dialek Pantai Baru.

Mata Pencaharian Utama Suku Rote

Mata pencaharian utama masyarakat Suku Rote adalah bercocok tanam di ladang, dengan tanaman seperti jagung, padi ladang, dan ubi kayu. Selain itu banyak pula di antara mereka yang bekerja sebagai penyadap nira lontar dan beternak kerbau, sapi, kuda dan ayam. Kaum wanita Suku Rote pandai menenun kain dengan motif tradisional, menganyam barang dari pandan dan sebagainya. 

Kekerabatan Dalam Suku Rote

Keluarga-keluarga inti orang Rote mendiami sebuah rumah, biasanya didirikan sekitar rumah pihak laki-laki. Secara kekerabatan mereka tergabung ke dalam klen-klen yang disebut leo. Setiap leo patrilineal ini dipimpin oleh seorang laki-laki senior yang disebut manek atau mane leo. Kesatuan tempat tinggal atau kampung yang mereka sebut nggolok terletak didataran yang cukup subur dan dekat dengan sumber air minum. Setiap kampung dipimpin oleh seorang kepala yang mereka sebut temukung, ia dibantu oleh beberapa orang tokoh yang disebut manaholo, manek dan fetor.

Agama Dan Sistem Kepercayaan Suku Rote

Sistem kepercayaan lama masyarakat Suku Rote mengenal adanya Sang Pencipta yang disebut Lamatuan atau Lamatuak. Manusia memandang Lamatuan ini sebagai Manadu (Pencipta), Mansula (Pengatur atau Penyelenggara) dan Manfe (Pemberi Berkah). Ketiga wujud Lamatuan tersebut mereka simbolkan dengan sebuah tiang bercabang tiga yang diletakkan di dalam rumah, di sebelah kanan pintu masuk. Segala sesuatu dalam kehidupan mereka dikaitkan kepada sistem kepercayaan tersebut. Sekarang banyak pula Orang Rote yang sudah memeluk agama Protestan, Katolik dan Islam.

inilah beberapa suku di propinsi nusa tenggara timur. namun sebenarnya masih banyak lagi suku yang belu saya bahas di sini. untuk mengetahui suku-suku lain  yang ada di propinsi NusaTenggara Timur, silahkah lihat di ragam suku di nusa tenggara timur

 sumber: suku dunia.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar